PELAJAR MUSLIM DI SEKOLAH NON-ISLAM


Yogyakarta merupakan kota pendidikan dan di sana terdapat banyak sekolah-sekolah favorit bermutu bagus, baik negeri maupun swasta. Banyak siswa dari dalam kota Yogyakarta maupun luar kota yang bermacam-macam suku, ras, etnis dan agama. Banyak sekolah di Yogyakarta menjadi pilihan para pelajar untuk menuntut ilmu. Selain sekolah negeri, banyak sekolah swasta yang mempunyai kualitas yang bagus di Yogyakarta. Beberapa di antara sekolah tersebut kebanyakan adalah sekolah di bawah naungan organisasi-organisasi agama tertentu. Beberapa di antaranya adalah seperti Muhammadiyah, Piri, Bopkri, Stella Duce, Pangudi Luhur, Marsudi Luhur, De Britto, dan Ma’arif. Ada beberapa sekolah dari organisasi tersebut yang mempunyai kualitas bagus bahkan internasional. Sekolah-sekolah tersebut tidak kalah dengan sekolah negeri, banyak prestasi yang telah ditorehkan oleh sekolah swasta tersebut. Misalkan saja SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta dan SMA Bopkri 2 Yogyakarta. Dengan kualitas yang tidak jauh beda dengan sekoah negeri, banyak orangtua yang menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah swasta tersebut. Tidak sedikit pula orangtua Muslim yang ,enyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah yang mayoritas beragama non-Islam. Seperti SMA Bopkri 1 dan 2 Yogyakarta, SMA Stella Duce 1 dan 2 Yogyakarta yang berisikan wanita semua, atau De Britto yang semua siswanya adalah laki-laki.
Meski sekolah-sekolah tersebut berbasis agama tertentu, namun dengan mayoritas penduduk Yogyakarta yang Muslim, banyak pelajar Muslim bersekolah di sekolah non-Islam seperti Bopkri atau Stella Duce. Dengan keadaan yang seperti ini muncul beberapa masalah terutama tentang agama. Masalah toleransi umat beragama menjadi hal yang perlu dicermati, terutama oleh mayoritas pelajar non-Islam dengan pelajar Muslim di Sekolah tersebut. Ada ketakutan bahwa akan terjadi pelcehan agama, diskriminasi dan bahkan permutadan. Saya di sini akan membahas bagaimana toleransi yang ada terhadap pelajar muslim di sekolah Bopkri dan bagaimana menghadapi berbagai masalah atau hambatan yang dihadapi oleh siswa Muslim di sekolah non-Islam.
Di Yogyakarta banyak terdapat sekolah-sekolah swasta yang berbasis agama tertentu.Sekolah-sekolah itu sebagian besar dibangun oleh organisasi agama tertentu, seperti De Britto, Stella Duce, Bopkri, Muhammadiyah dan Ma’arif. Bahkan beberapa sekolah swasta ini menjadi sekolah favorit bagi siswa, baik dari Yogyakarta maupun luar Yogyakarta. Disebabkan penduduk Yogyakarta sebagian besar beragama Islam, maka tidak dapat dihindarkan banyak orang tua muslim yang menyekolahkan di sekolah-sekolah non-Islam, baik sekolah Katolik maupun sekolah Kristen. Bahkan jumlah mereka cukup signifikan. Ada berbagai alasan sehingga orang tua muslim ini memilih menyekolahkan anaknya ke sekolah non-Islam, yaitu soal kualitas, efisiensi, dan efektifitas. FUI (Forum Ukhuwah Islamiyah) sudah lama mengamati akan hal ini. Ada tuduhan bahwa ada praktek permutadan melalui pendidikan.
Melihat kenyataan yang seperti ini, begitu besarnya toleransi antar umat beragama yang harus dipegang teguh oleh warga sekolah di sekolah non-Islam tersebut. Sekolah-sekolah non-Islam di Yogyakarta memang tidak melarang seorang Muslim untuk masuk dan bersekolah di sekolah tersebut. Dengan situasi yang seperti ini, siswa Muslim yang memang sudah mantap bersekolah di sekolah itu tidak minder dan takut. Baik teman-teman maupun guru tetap memberlakukan siswa Muslim sesuai aturan. Tidak ada yang namanya diskriminasi dan pelecehan agama. Di dalam kegiatan kurikuler, terutama pelajaran agama SMA Bopkri 2 Yogyakarta (Boda) tidak mengajarkan agama selain agama Kristen, jadi siswa Muslim pun ikut ke dalam pelajaran tersebut. Pada hari Jum’at jam belajar mengajar berakhir pada
pukul 11.15. Sehingga para Muslim pria pun bisa melaksanakan sholat Jum’at. Kegiatan-kegiatan yang bernuansa Kristen misalnya pendalam alkitab pun siswa Muslim boleh ikut serta. Siswa Muslim juga tidak mendapat halangan untuk aktif dalam organisasi sekolah.
Di sekolah lain, misalnya SMA Bopkri 1 Yogyakarta (Bosa) yang tidak menggunakan cara pemisahan siswa pada jam pelajaran agama, karena di sekolah yang bernaung di bawah yayasan Kristen ini tidak memberikan pelajaran agama Kristen Protestan, tetapi yang diberlakukan adalah pelajaran Komunikasi Iman. Pada pelajaran ini siswa dari berbagai agama belajar bersama tentang tema-tema yang ditentukan bersama oleh para siswa.
Berarti di pihak Bosa telah memahami bahwa di Bosa tidak hanya ada siswa Kristen, namun juga terdapat siswa agama lain terutama Muslim. Ini menunjukkan bahwa toleransi agama di Bosa sangat besar dan mampu meminimalisir adanya kesenjangan maupun diskriminasi. Pihak sekolah sadar bahwa orang-orang Muslim tidak dapat dihindarkan untuk bersekolah di Bosa. Siswa-siswa lain yang mayoritas beragama Kristen pun tidak mempengaruhi dan tidak mempermasalahkan apa agamanya, semuanya adalah teman. Bahkan tidak jarang pula terjadi jalinan asmara di antara siswa yang berbeda keyakinan.
Akan tetapi, dalam aturan Islam, memang seorang Muslim haram hukumnya apabila bersekolah di sekolah non-Islam. Haram Ummat Islam Menyekolahkan Anaknya di Sekolah Kristen/Katholik. Kalau sampai kejadian begitu orangtuanyalah yang paling berdosa karena sengaja menaruh anaknya di sekolah Kristen atau Katholik sehingga dididik sesuai ajaran agama tersebut. Umumnya orang Islam yang menyekolahkan anaknya di situ karena ingin anaknya disiplin atau berhasil dalam kehidupan dunia.
Din Syamsudin , sekjen MUI (dulu) menyatakan bahwa sekolah-sekolah Kristen/Katholik merupakan alat permutadan siswa Muslim yang bersekolah di sana. Dan ternyata menurut data statistik jumlah umat Islam memang mengalami penurunan. Siswa Muslim mengaku terbiasa mendengar kebaktian dan misa.
Muncul tuduhan, sekolah-sekolah itu menjadi media bagi permutadan siswa Muslim yang bersekolah di sana. Tudingan ini secara gamblang diutarakan Din Syamsudin. Ia menyebut ada 1.300 anak muslim yang pindah agama di Yogyakarta karena bersekolah di sekolah Kristen/Katholik.
Dalam masalah ini pihak sekolah tidak boleh disalahkan, karena pada dasarnya siswa itu sendiri yang bersekolah di sekolah tersebut. Dan orangtuanya juga memberi restu. Namun dalam sudut pandang Islam, orang tua itu lah yang berdosa besar. Seharusnya orang islam mendidik anaknya sebagaimana orang Kristen dan Katholik sesuai dengan ajaran agamanya sendiri. Bukan ajaran dalam agama lain. Dalam Islam para orang tua dianjurkan untuk mendidik anaknya dengan agama Islam.
Pihak sekolah dan siswa-siswa non-Islam malah patut diberi jempol karena toleransinya terhadap siswa Muslim. Terlepas dari permutadan, karena memang sepenuhnya pihak sekolah tidak disalahkan. Siswa-siswa itu datang sendiri dan tidak ada paksaan dari sekolah untuk bersekolah di sana. Sekolah dan siswa mayoritasnya lah yangbertoleransi tinggi, sehingga siswa Muslim pun mau bersekolah dan betah di sana karena hampir setiap tahu ajaran baru maka akan ada terus siswa Muslim yang masuk sekolah non-Islam
Siswa beragama Islam tidak sedikit yang bersekolah di sekolah non-Islam. Siswa Muslim memilih sekolah-sekolah tersebut dengan alasan efektifitas, kualitas, dan efektifitas. Adanya toleransi yang cukup tinggi terhadap siswa Muslim di sekolah non-Islam membuat siswa Muslim merasa nyaman dan aman dersekolah si sekolah non-Islam tersebut. Tidak ada kesenjangan di antara siswa mayoritas non-Islam dengan siswa minoritas islam , interaksi yang terjadi lancar baik dengan siswa lain maupun dengan guru atau karyawan sekolah. Di sekolah tersebut tidak ada diskriminasi terhadap siswa yang Muslim. Siswa Muslim tidak dihalangi atau mendapat pelecehan dalam layanan akademik maupun non akademik. Toleransi lah yang menjadi solusi atas semua ini, siswa muslim yang memilih sekolah ini tidak boleh dilarang meskipun bersekolah di sekolah non-Islam. Permutadan yang terjadi ini bukan merupakan salah sekolah itu, namun siswa itu sendiri yang mau bersekolah di sana. Dan pihak orang tua yang sudah merestui anaknya untuk bersekolah di sana, jadi soal permutadan ini bukan ditentukan secara sepihak namun dengan adanya kesepakatan. Apabila tidak ingin berdosa maka sebaiknya orang tua tidak menyekolahkan anaknya di sekolah non-Islam. Keberadaan siswa Muslim di sekolah non-Islam tersebut telah diakui dan mendapatkan suatu kenyamanan karena adanya toleransi. Toleransi merupakan kunci di dalam keberagaman dan hubungan yang berbeda agama tersebut, sehingga sekolah-sekolah non-Islam itu mampu menjaga kerukunan.

3 komentar:

Unknown mengatakan...

susunan tulisanmu rapi sekali mbull? :D

agus siswanto mengatakan...

rapi apanya itu cuma ngasal kok hehe tapi makasih :)

Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

Posting Komentar